Basmalah

BLOG IHSAN HALIK

TV


Modifid by: suka-blog

Cari

Kami ucapkan

Kamis, 23 April 2009

KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA



Peradilan Islam di Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah Peradilan Agama telah ada dan dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Peradilan Agama ada dan seiring dengan perkembangan kelompok masyarakat di kala itu, yang kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan Islam. Hal ini diperoleh karena masyarakat Islam sebagai salah satu komponen anggota masyarakat adalah orang yang paling taat hukum, baik secara perorangan maupun secara kelompok.
Perjalanan lembaga Peradilan Agama hingga era satu atap ini mengalami pasang surut dan tantangan yang sangat berat, baik secara kelembagaan maupun secara konstitusional. Betapa tidak, dibutuhkan waktu selama 100 tahun untuk memperjuangkannya agar setara dan sejajar dengan lembaga peradilan lainnya.

Untuk menelusuri lebih jauh tentang kedudukan lembaga Peradilan Agama dalam perundang-undangan negara, maka menelusuri perkembangannya secara periodik menjadi suatu keniscayaan, karena dari sanalah dapat diketahui betapa lembaga peradilan agama dalam perjalanannya mengalami banyak tantangan dan membutuhkan banyak peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar untuk sampai kepada taraf kesempurnaan dan berdiri kokoh sebagai lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.
PERADILAN AGAMA PRA UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
Lembaga peradilan agama seharusnya ada pada setiap lingkup komunitas muslim, karena ia merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kaum muslimin untuk mengatur kehidupannya, baik secara individual maupun secara sosial. Namun demikian, dalam sejarahnya di Indonesia, lembaga peradilan agama dinyatakan lahir secara resmi nanti pada tanggal 19 Januari 1882, dan pada tanggal inilah yang kemudian dijadikan sebagai hari lahir peradilan agama di Indonesia, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie Stbl. 1882 No. 152.
Di awal era kolonial Belanda, Pengadilan Agama dibiarkan tumbuh dan berkembang sesuai keadaan masyarakat, namun setelah kekuasaan mereka bertambah kuat, maka pada tahun 1820 eksistensi pengadilan agama mulai diatur. Pengaturan ini termuat dalam Staatsblad 1882 No. 152 yang berlakunya dimulai pada tanggal 1 Agustus 1882. dengan keluarnya Staatsblad tersebut, maka dibentuklah lembaga peradilan agama untuk Jawa dan Madura.
Meskipun kebijakan pemerintah Belanda tersebut ditentang oleh Snouck Hurgronye, namun kebijakan itu tetap berlanjut, karena hal itu dimaksudkan untuk mengambil hati umat Islam, bahwa mereka juga memperhatikan lembaga peradilan agama. Pada hal, pemerintah Belanda sendiri tidak pernah mensejajarkan lembaga Peradilan Agama dengan Landraad (Pengadilan Negeri). Hal ini terlihat pada tidak disediakannya anggaran belanja dan tidak diberikannya gaji bagi petugas-petugasnya seperti halnya pegawai Landraad. Bahkan lebih dari itu, juga pemerintah Belanda berusaha untuk mengurangi kewenangan lembaga Peradilan Agama dengan dikeluarkannya Staatsblad Tahun 1931 No. 53. Dengan dikeluarkannya Staatsblad tersebut dan disusul dengan dikeluarkannya Staatsblad 1937 No. 116, maka kewenangan pengadilan agama hanya terbatas pada masalah dan perkara yang berkaitan dengan nikah, talak dan rujuk, termasuk mahar dan pembagian nafkah wajib bagi suami kepada isterinya.
Menurut Busthanul Arifin, dengan keluarnya Staatsblad 1937 No. 116 ini, yang untuk sebagian mulai berlaku pada tahun 1937 merupakan pukulan “knock out” bagi Peradilan Agama, karena sejak itu Peradilan Agama hanya sebagai “quasi pengadilan”. Sedangkan menurut istilah Pak Munawir Sjadzali, hanya berfungsi sebagai peradilan “pupuk bawang”.
Selain peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur kedudukan dan kewenangan peradilan agama di seluruh nusantara yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda di antaranya adalah Staatsblad 1937 No. 638 dan No. 639 yang mengatur tentang kerapatan qadhi dan qadhi besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur.
Di era kemerdekaan keberadaan peradilan agama tetap diakui eksistensinya berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Berdasarkan aturan peralihan tersebut, maka keberadaan peradilan agama yang telah ada di masa sebelumnya tetap dipertahankan dan didukung oleh mayoritas penduduk yang beragama Islam. Untuk mempertahankan eksistensinya, maka pembinaan peradilan agama diserahkan kepada Departemen Agama berdasarkan PP No. 5/SD/1946. Sebenarnya, pada sekitar tahun 1948 ada upaya untuk memasukkan lembaga peradilan agama ke dalam lingkup peradilan umum melalui Undang-Undang No. 190 Tahun 1948 yang masa berlakunya ditentukan oleh Menteri Kehakiman, namun karena penetapan tersebut tidak pernah keluar, maka sejak itu sampai pada era satu atap tahun 2004, peradilan agama tetap di bawah naungan Departemen Agama.
Selama masa awal kemerdekaan hingga masa orde lama, keberadaan peradilan agama tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan kerena politik kaum kolonialisme yang tidak mensejajarkan peradilan agama dengan peradilan umum masih tetap diberlakukan, baik menyangkut kompetensi absolutnya maupun menyangkut kompetensi relatif, finansial dan oraganisasinya, sehingga “quasi peradilan” sebagaimana disebutkan sebelumnya masih tetap berjalan, padahal, dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 19 Tahun 1964, eksistensi lembaga peradilan agama secara tegas dinyatakan, bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Meskipun demikian, suatu hal yang menggembirakan adalah bahwa pada masa pemerintahan orde lama telah diterbitkan suatu ketentuan yang mengatur tentang keberadaan peradilan agama diluar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan, yaitu PP. No. 45 Tahun 1957, sehingga sejak itu keberadaan peradilan agama dalam tiga peraturan perundang-undangan.
Kondisi peradilan agama di era Orde Lama tersebut berlanjut hingga awal dan akhir pemerintahan Orde Baru, meski telah dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 sebagai pengganti Undang-undang No. 19 Tahun 1964, namun apa yang dinamakan “quasi pengadilan” masih tetap berjalan. Hal ini terlihat dari sejak berdirinya tahun 1882 hingga akhir tahun 1989 suasana kesemuan dan kelumpuhan peradilan agama masih tetap terasa, karena di satu sisi secara formil dan legalistik peradilan agama diserahi kekuasaan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman, akan tetapi di sisi lain secara realistik peradilan agama lumpuh, pincang dan tidak sempurna.
PERADILAN AGAMA PASCA UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989
Setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan serta perdebatan yang alot, baik di kalangan masyarakat yang berpikiran sekuler maupun di kalangan orang-orang atau fkraksi-fraksi yang ada di DPR, maka pada akhir tahun 1989 pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Salah seorang yang sangat berjasa melahirkan Undang-undang ini adalah Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH. Hal ini dinyatakan oleh Poerwoto S. Gandasoebrata (mantan Ketua MARI) bahwa:
Sebagai Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama (Uldilag) yang pertama, beliau (H. Busthanul Arifin, SH.) berjasa membentuk “janin” peradilan agama. Beliau berusaha keras agar peradilan agama betul-betul tumbuh sebagai pengadilan yang mandiri, tertib, berwibawa, serta sejajar dengan lingkungan peradilan lainnya.
Mengomentari lahirnya UU No. 7 Tahun 1989, Prof. Dr. H. Busthanul Arifin mengatakan bahwa di antara manfaat dari Undang-Undang tersebut adalah menjadikan Peradilan Agama benar-benar sebagai aparat kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945. Dengan adanya legitimasi berupa undang-undang tersebut, maka lembaga peradilan agama benar-benar telah sejajar dengan peradilan umum, karena dengan adanya undang-undang tersebut mempertegas kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sebagai kekuasaan kehakiman, menciptakan kesatuan hukum peradilan agama dan memurnikan fungsi peradilan agama.
Meskipun lembaga peradilan agama telah mendapat ligitimasi yang kuat dengan lahirnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989, namun usaha-usaha perbaikan berupa fasilitas perkantoran dan sarana-sarana pendukung lainnya belum mendapat perhatian yang baik sebagaimana layaknya lembaga peradilan lainnya. Hal ini terlihat dimana kantor Pengadilan Agama di seluruh Indonesia baru berbentuk balai sidang, dan sangat sedikit mengalami perbaikan. Demikian halnya rumah dinas ketua dan wakil ketua serta hakimnya belum tersedia, meskipun kedudukan ketua, wakil ketua dan para hakim ditetapkan sebagai pejabat negara seperti yang diamanahkan Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang perubahan Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, baru sebatas nama belaka.
PERADILAN AGAMA PASCA SATU ATAP (ONE ROOF SYSTEM).
Pemikiran tentang sistem satu atap bagi lembaga-lembaga yang berada dalam lingkup peradilan berawal dari terjadinya perubahan suasana politik dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Salah satu hal yang menjadi prioritas utama di era reformasi ini adalah mengembalikan kedaulatan hukum yang selama orde sebelumnya berdaulat di bawah pemerintah (eksekutif) karena didukung oleh undang-undang yang memberikan peluang kepada pihak eksekutif untuk campur tangan, meski secara klausul disebutkan “tidak mengurangi kebebasan hakim”. Oleh karena itu, melalui sidang istimewa yang diselenggarakan pada bulan Nopember 1998, MPR mengesahkan salah satu ketetapan, yaitu Tap MPR No.X/MPR/1998 tentang “Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Sosial Sebagai Haluan Negara” yang di dalamnya antara lain ditegaskan bahwa “pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan”.
Pembahasan menempatkan seluruh lingkungan peradilan – termasuk peradilan agama – berada di bawah kekuasaan MA, baik aspek yudicial maupun non yudicial, sudah lama berlangsung. Pembahasan ini menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang setuju beranggapan bahwa dengan satu atapnya peradilan dibawah MA, kemandirian hakim akan lebih terjamin sebab akan terhindar dari intervensi pihak eksekutif yang selama ini mempunyai kewenangan dalam melakukan pembinaan organisasi, administrasi dan finansial peradilan. Sementara yang tidak setuju beranggapan bahwa jika pembinaan seluruh lingkungan berada di kekuasaan MA, tanpa melibatkan eksekutif, justru akan terjadi tirani, tidak ada penyeimbang, akibatnya kemandirian hakim akan terganggu.
Untuk menyikapi Tap MPR tersebut, maka langkah yang harus diambil pemerintah adalah dilakukannya pemisahan secara tegas antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan yudikatif sebagai jaminan ke arah penegakan supremasi hukum. Dari sini kemudian UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan berada pada Departemen masing-masing, dirubah oleh UU nomor 35 Tahun 1999. UU yang baru ini menyatakan bahwa organisasi, administrasi dan finansial badan-badan peradilan berada pada Mahkamah Agung. Dengan demikian maka berdasarkan UU ini, pembinaan aspek yudicial maupun non yudicial seluruh lingkungan peradilan berada pada MA. Jadi sebetulnya satu atap itu secara formal sudah terjadi sejak 31 Agustus 1999, saat mana UU Nomor 35 Tahun 1999 diundangkan pada Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 147.
Menjelang 5 (lima) tahun berlakunya UU Nomor 35 Tahun 1999, pada tahun 2003 sudah mulai disiapkan pelaksanaan satu atap peradilan dengan mulai dibahasnya 5 RUU, yang merupakan RUU revisi UU Kekuasaan Kehakiman, revisi UU Mahkamah Agung, revisi UU Peradilan Umum, revisi UU Peradilan TUN dan revisi UU Kejaksaan Agung, dalam perkembangan selanjutnya para anggota panja DPR sepakat agar PA juga disatu atapkan di MA, dengan pertimbangan untuk melaksanakan reformasi hukum sesuai UUD 1945 dan Tap MPR, serta untuk kepentingan PA itu sendiri sebagai lembaga pengadilan negara yang setara dengan peradilan lainnya.
Sistem satu atap terealisasi dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang kekuasaan kehakiman yang dikenal dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Dalam pasal 13 (1) undang-undang tersebut dinyatakan bahwa “organisasi, administrasi, dan financial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Selanjutnya pada pasal 13 (3) disebutkan bahwa “masing-masing lingkungan peradilan di atur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing”.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 4 Tahun 2004, badan peradilan agama sebagai salah satu badan dalam lingkup kekuasaan kehakiman memasuki babak baru, selanjutnya untuk melaksanakan pengalihan peradilan ke MA sesuai dengan UU tersebut, Keppres Nomor 21 Tahun 2004 menentukan bahwa pada tangggal 30 Juni 2004 adalah waktu penyerahan PA dari Departemen Agama ke MA. Sistem peradilan satu atap (one roof system) mulai dilaksanakan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer sepenuhnya di bawah kekuasaan dan tanggung jawab Mahkamah Agung. Dan untuk memantapkan kedudukan dan memperluas kewenangan Peradilan Agama agar setara dengan lembaga peradilan lainnya, maka UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama mengalami revisi menjadi UU Nomor 3 Tahun 2006.
Dengan berlakunya sistem peradilan satu atap tersebut, kini peradilan agama, yang sebelumnya dianggap sebagai peradilan “kelas dua”, sudah sejajar dengan lembaga peradilan lainnya, baik secara konstitusional maupun kelembagaan, baik secara individual maupun secara organisatoris. Ia bukan lagi berfungsi sebagai quasi pengadilan” dan “pupuk bawang”, tetapi peradilan agama berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan lembaga peradilan lainnya yang ada dalam lingkup Mahkamah Agung. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa hakim dari pengadilan agama pun sudah bisa menjadi Ketua Mahkamah Agung.
KESIMPULAN
Dengan merujuk pada kenyataan sejarah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa secara the pacto peradilan agama telah ada dan dikenal seiring berkembangnya komunitas muslim di nusantara ini, namun secara the jure, baru dikenal sejak masa kolonial Belanda. Dalam upaya untuk menjadikan peradilan agama sejajar dengan peradilan lainnya dibutuhkan waktu yang sangat panjang dan melelahkan, bahkan pengorbanan yang tidak sedikit, baik materil maupun non meteril.
2. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, maka kedudukan dalam sistem perundang-undangan negara dapat dikatakan sudah sangat kuat dan kokoh sejajar dengan lembaga peradilan lainnya.
3. Setelah peradilan agama berada dalam satu atap dengan lembaga peradilan lainnya, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak mensejajarkan antara peradilan agama dengan lembaga peradilan lainnya. Bahkan dengan bergabungnya peradilan agama di bawah naungan Mahkamah Agung RI dapat mengembalikan citra peradilan - yang selama ini cukup jelek di mata masyarakat – karena hakim peradilan agama mempunyai nilai plus yaitu sebagai hakim di mata hukum.
- 652008 -

Tidak ada komentar: